Dalam kaitannya dengan isu ramah lingkungan, Indonesia menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% secara mandiri atau 41% jika mendapat dorongan internasional. Dalam rangka mendukung upaya penurunan karbon tersebut, berbagai kebijakan telah dikeluarkan antara lain dengan mengeluarkan Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBL-BB)/BEV Untuk Transportasi Jalan serta mempercepat pembangunan infrastruktur energi baru terbarukan dan pengembangan ekosistem industri kendaraan listrik/KBL-BB melalui peta jalan industri otomotif nasional dan peta jalan pengembangan Industri KBL-BB. Selanjutnya, untuk mendukung kebijakan pengembangan KBL-BB, Pemerintah telah melakukan pengaturan tarif PPnBM berdasarkan tingkat emisi karbon kendaraan bermotor. Semakin ramah lingkungan, maka semakin besar pula insentif fiskal yang akan diberikan. Keseluruhan regulasi tersebut telah dikeluarkan untuk menunjang hadirnya percepatan kendaraan yang lebih ramah lingkungan di Indonesia[1].

Di negara-negara maju, implementasi kebijakan transportasi ramah lingkungan dengan mendorong peningkatan penggunaan Non-Motorized Transportation (NMT) terus dikampanyekan untuk tujuan kesehatan, lingkungan dan pemanfaatan energi. Setidaknya, mereka memilih dan dipaksa untuk menggunakan kendaran umum daripada menggunakan kendaraan pribadi. Di Indonesia, laju pertumbuhan produksi kendaraan pribadi sangat pesat sementara penyediaan angkutan umum terintegrasi belum menjangkau ke semua wilayah. Sebagai akibatnya, orang memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi untuk mobilitas mereka. Padahal, penggunaan kendaraan pribadi justru menambah beban lingkungan dan beban ekonomi energi.

Oleh karenanya, industri otomotif global telah mengalihkan perhatian dan investasi mereka dari produksi kendaraan berbahan bakar minyak ke bahan bakar alternatif baru dan terbarukan, seperti gas alam, biodiesel, dan ethanol[2]. Produksi kendaraan berbasis ICE dengan bahan bakar alternatif masih terus berlanjut meskipun teknologi kendaraan berbasis listrik telah mencapai Total Cost Ownership (TCO) yang setara dengan kendaraan berbasis ICE. Kendaraan ramah lingkungan berbasis bahan bakar alternatif diperkirakan akan bertahan dalam beberapa dekade kedepan karena bisa dimodifikasi dari teknologi yang ada saat ini dan bahan bakarnya dapat disediakan secara domestik. Kendaraan berbasis listrik mulai diminati meskipun belum tersedia infrastruktur yang handal dan merata. Kedepan, kendaraan listrik, kendaraan fuel cell, dan kendaraan berbahan bakar alternatif (gas alam, biodiesel, ethanol) akan berkembang bersama dengan keunggulannya masing-masing.

[1] Dorong Industri Otomotif Nasional Menjadi Pemain Global, Pemerintah Mendukung Produksi Kendaraan Ramah Lingkungan, 2022 (sumber: ekon.go.id).
[2] Setiyo, Muji. "Alternative fuels for transportation sector in Indonesia." Mechanical Engineering for Society and Industry 2.1 (2022): 1-6.